-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Ziarah Wali Plus Rekreasi Wisata, Bolehkah Mengambil Dispensasi Shalat ( Qashar/Jamak )

Posting Komentar
Konten [Tampil]
Gambar oleh herry wibisono dari Pixabay
Sudah bukan hal baru lagi di jaman sekarang pergi berziarah ke makam para wali yang di sertai berwisata kebeberapa tempat lainnya, seperti ke pantai yang tidak lepas dari unsur maksiat.

yang jadi pertanyannya , apakah boleh perjalanan yang demikian meng Qashar shalat ?




Jika melihat dari penyenggelaraan ziarah wali saat in, sepertinya memang terjadi kontradiktif antara kebolehan dan larangan, mengambil dispensasi safar : Boleh ketika bertujuan ziarah wali , tidak boleh ketika bertujuan rekreasi ke tempat maksiat.

Sisi pandang ulama dalam menentukannya melihat sisi dominan keduanya,  jika tujuan utamanya adalah berziarah, sedangkan wisata ketempat maksiat hanya menjadi pernak-pernik rekreasi hiburan( tab'an) maka tetap di perbolehkan untuk mengambil dispensasi safar, seperti shalat jamak atau qashar dan tidak berpuasa.


Dalam hal ini, sebagaimana di tulis oleh ' Allamah Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Murtadha az-Zabidi ( w.1791) saat mengomentari kitab Ihya' Ulumiddin karya Abu Hamid Al-Ghazali dengan judul Ithaf as-sadah al-Muttaqin ( 7:515-516) mengatakan demikian. " Umpama dalam safar memiliki dua motif, boleh dan haram. jika yang menjadi motif perjalanannya bukan perkara yang diharamkan, tentunya bepergian hanya terjadi pada yang mubah dan ia tidak akan bepergian untuk selain yang mubah tersebut , maka boleh melakukan qashar shalat.


Kita tau bahwa motif utama dalam rombongan ziarah wali adalah mengunjungi atau ziarah kemakam para wali, semisal wali songo dan orang-orang shalih lainnya.

Sementara ketempat parawisata hanyalah bagian dari bumbu penyedap rasa , dalam artian bukan menjadi tujuan utama. Seandainya tidak untuk ziarah ke makam para wali, perjalanan tidak akan dilakukan oleh mereka. inilah yang kemudian menjadi alasan diperbolehkan melakukan jamak-qashar, meski di antara tujuannya adalah ketempat-tempat yang dinilai maksiat.


Terlebih lagi dalam artian rukhshah-safar yang disyaratkan harus bebas dari tujuan maksiat hal ini terdapat khilaf ulama. Dalam pandangan tiga madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali , jamak qashar yang merupakan rukhshah dalam perjalanan tidak boleh dilakukan ketika perjalanannya bertujuan maksiat.

Dalam kaidah umum ketentuan maksiat tidak berhak mendapatkan rukhsah atu dispensasi dalam safar ( ar-Rukhshatu la tunathu bi al-ma'ashi) oleh karena itu, ketika dalam  bepergian sejak awal memang bertujuan untuk maksiat  ( ashi bi as-safar ) maka tidak berhak mendapat keringanan rukhshah untuk menjamak atau meng qashar shalat.


Ketentuan ini hampir menjadi kesepakatan ulama madzhab Syafi'i , hanya al-Muzanni yang memiliki sisi pandang yang berbeda. menurutnya, musafir dengan tujuan maksiatpun berhak mendapakatkan dispensasi safar, berupa qashar shalat. hanya saja hukum ini berlaku pada qashar saja, untuk menjamak tidak boleh secara mutlak, baik bertujuan maksiat atau tidak, kecuali bertujuan ibadah di Arafah dan Muzdalifa.

pandangan al-Muzanni ini sejalan dengan madzhab Hanafi. ulama lain yang sepaham adalah al-Awza'i dan ats-Tsauri, alasan mereka , shalat qashar dalam perjalanan adalah ketetapan (Azimah ) bukan dispensansi syarat ( rukhshah ) terlebih lagi, ada kemungkinan terbesar yang di alami oleh musafir dalam perjanannya untuk tidak bersinggunagan dengan maksiat. sangat langka , musafir tidak melaksanakan maksiat dalam perjalanan.


Referensi : Ithaf as-sadah al-Muttaqin |( 7:515-516)
Rofik86
Seorang yang berpegang teguh pada komitmen dan tentunya sangat setia pada seorang wanita

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter